Perpisahan antara Carlos Alcaraz dan Juan Carlos Ferrero hanya beberapa minggu sebelum dimulainya musim baru mengejutkan dunia tenis. Hubungan yang selama ini dianggap sebagai salah satu kemitraan pemain–pelatih terkuat di dunia tenis ternyata berakhir karena perbedaan pandangan soal kontrak, memunculkan pertanyaan tentang ambisi, otoritas, dan harga yang harus dibayar untuk sukses di level tertinggi tenis modern.
Sebuah Kemitraan yang Pernah Terlihat Tak Tergoyahkan
Selama bertahun-tahun, hubungan antara Carlos Alcaraz dan Juan Carlos Ferrero dipandang sebagai contoh stabilitas dalam tenis profesional. Mereka bukan sekadar pemain dan pelatih — relasi mereka kerap digambarkan seperti keluarga. Ferrero adalah arsitek utama di balik kebangkitan Alcaraz, mantan petenis nomor satu dunia yang membimbing seorang remaja berbakat menuju gelar Grand Slam langkah demi langkah.
Karena itu, perpisahan yang diumumkan hanya dua minggu sebelum musim baru dimulai terasa begitu mengejutkan. Ketika laporan menyebutkan bahwa penyebabnya adalah perbedaan pendapat terkait kontrak baru, cerita ini menjadi jauh lebih dramatis. Bagaimana mungkin kemitraan yang dibangun atas dasar kepercayaan, loyalitas, dan visi bersama runtuh karena uang dan kendali?
Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, kita perlu melihat kembali bagaimana hubungan ini terbentuk — dan mengapa ia bekerja dengan begitu baik selama bertahun-tahun.
Ferrero Memilih Proyek Jangka Panjang Ketimbang Bintang Mapannya
Juan Carlos Ferrero sebenarnya tidak membutuhkan prospek muda baru ketika pertama kali mendengar nama Carlos Alcaraz. Pada 2018, tak lama setelah mengakhiri kerja samanya dengan Alexander Zverev, Ferrero menerima tawaran serius dari pemain elite seperti Dominic Thiem dan Simona Halep, yang saat itu sudah bersaing memperebutkan gelar-gelar terbesar.
Namun agen Alcaraz, Albert Molina, datang dengan pendekatan berbeda. Ia tidak menawarkan hasil instan, melainkan sebuah proyek — kesempatan untuk membesarkan sendiri calon pemain kelas dunia dari nol. Ide ini sangat menarik bagi Ferrero.
Antonio Cascales, mantan pelatih Ferrero yang juga membentuk kariernya, sempat menyarankan solusi kompromi: bekerja dengan Alcaraz dan Thiem sekaligus, karena Thiem hanya ingin bekerja sekitar 15 minggu per tahun. Namun Ferrero sudah terpikat dengan gagasan keterlibatan penuh. Menciptakan pemain elite dari awal membutuhkan fokus total, dan ia siap mengorbankan keuntungan jangka pendek demi tujuan jangka panjang.
Bahkan sebelum bertemu langsung dengan Alcaraz, Ferrero sudah mengenal gaya bermain kreatifnya. Ia pertama kali melihatnya pada 2017 di kejuaraan beregu nasional Spanyol U-14 yang digelar di akademinya di Alicante. Alcaraz membawa tim Murcia menjadi juara dengan memenangkan seluruh pertandingan tunggal dan ganda. Setahun kemudian, Ferrero menyaksikan Alcaraz yang berusia 14 tahun mengalahkan pemain top-300 dalam laga profesional pertamanya. Tak lama berselang, Alcaraz menerima wild card ke turnamen akademi Ferrero — dan Ferrero pun memutuskan menjadi pelatih pribadinya.
Hubungan Profesional yang Berubah Menjadi Ikatan Pribadi
Pengalaman Ferrero sebelumnya dengan Zverev berakhir setelah delapan bulan akibat perbedaan pandangan tentang profesionalisme. Ferrero menilai banyak distraksi, termasuk media sosial, membuat Zverev tidak sepenuhnya fokus pada tenis. Zverev, di sisi lain, merasa kurang dihargai.
Dengan Alcaraz, konflik semacam itu tidak muncul. Meski memiliki temperamen berbeda, chemistry profesional mereka langsung terasa. Ferrero menerima gaji yang jauh lebih rendah dibanding masa kerjanya dengan Zverev, meskipun sebagian ditanggung oleh IMG. Tahun-tahun awal dijalani secara sederhana — mereka bahkan bepergian ke turnamen dengan mobil, sesuatu yang membuat banyak pelatih lain heran mengapa mantan petenis nomor satu dunia memilih “turun kelas”.
Bagi Ferrero, ini bukan sekadar pekerjaan. Emilio Sánchez, mantan pemain top-10 yang mengenal keduanya dengan baik, menggambarkan peran Ferrero hampir seperti sosok ayah — tidak hanya membentuk tenis Alcaraz, tetapi juga membimbing perkembangan pribadinya.
Kehidupan di Akademi: Disiplin, Pendidikan, dan Isolasi
Alcaraz pindah penuh ke akademi Ferrero dan tinggal di sebuah bungalow di area tersebut, sementara Ferrero juga menetap di sana. Pendekatannya menyeluruh. Teknik servis Alcaraz diperbaiki, kondisi fisiknya ditingkatkan secara drastis, dan pendidikan formal tetap menjadi prioritas. Setiap hari, ia menghabiskan lebih dari tiga jam untuk pelajaran akademik, yang oleh Ferrero dianggap penting bagi pertumbuhan karakter. Setelah menyelesaikan kurikulum, para murid bebas memilih apakah ingin melanjutkan pendidikan formal (Alcaraz memilih untuk tidak melanjutkan).
Transisi ini tidak mudah. Untuk pertama kalinya, tenis benar-benar menjadi pekerjaan. Kamp pramusim pertamanya begitu berat hingga Alcaraz hampir menangis, dan ia sangat merindukan rumah. Bertahun-tahun kemudian, ia mengatakan bahwa kepindahan ke Alicante memungkinkan dirinya fokus sepenuhnya pada tenis dan menetapkan tujuan karier yang jelas. Tak lama setelah ulang tahunnya yang ke-16, Ferrero dan orang tua Alcaraz sepakat bahwa Carlos akan tinggal penuh di akademi.
Tim pendukung khusus pun dibentuk di sekelilingnya, termasuk seorang podolog yang memeriksa kaki Alcaraz setiap tiga bulan dan membuatkan sol sepatu khusus buatan tangan — detail kecil yang mencerminkan keseriusan proyek ini.
Lockdown sebagai Titik Balik Perkembangannya
Pada awal 2020, setelah meraih kemenangan ATP pertamanya di Rio de Janeiro, Alcaraz kembali ke Spanyol tepat ketika dunia memasuki lockdown akibat COVID-19. Akademi memutuskan untuk mengisolasi diri bersama. Selama sekitar enam minggu, para murid dan staf hidup dalam isolasi ketat, diikuti beberapa bulan tambahan sebelum kalender tenis kembali berjalan.
Alcaraz merayakan ulang tahunnya yang ke-17 tanpa keluarga dan mengalami tekanan emosional. Pelatih keduanya, Kiko Navarro, mengenang bahwa Carlos membutuhkan dukungan psikologis ekstra pada periode tersebut. Namun isolasi ini juga memperkuat ikatan di dalam akademi. Setelah dipastikan semua sehat, mereka mulai mengadakan makan malam tematik, malam film, permainan, dan panggilan video dengan pemain profesional.
Banyak yang percaya bahwa periode ini menjadi kamp latihan intensif yang tidak disengaja — fase perkembangan fisik dan mental yang sangat terkonsentrasi pada momen ideal dalam pertumbuhan Alcaraz. Inilah saat dinamika profesional antara Ferrero dan Alcaraz benar-benar mengkristal: disiplin, ketepatan waktu, fokus penuh, dan nol toleransi terhadap distraksi. Ferrero dikenal sangat blak-blakan dan tidak pernah melunakkan kritik ketika standar tidak terpenuhi.
Rasa Hormat, Otoritas, dan Tough Love
Ferrero menuntut banyak hal, tetapi Alcaraz mendengarkan — karena ia menghormatinya. Sebagai mantan juara Grand Slam, Ferrero memahami perjalanan menuju puncak. Lebih dari itu, ia mampu mendukung, menasihati, dan menantang Alcaraz pada saat yang tepat.
Mantan finalis Roland Garros, Alex Corretja, menggambarkan pendekatan Ferrero sebagai “tough love” yang diperlukan untuk mempersiapkan seorang jenius muda menghadapi realitas tur profesional tanpa mematikan kreativitasnya. Ferrero membimbing Alcaraz melalui Futures dan Challengers, membantu memahami permainan profesional, dan membuka potensi besarnya jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.

Alcaraz kerap memberi tahu Ferrero ketika ia merasa siap naik level. Sebelum gelar Challenger pertamanya. Sebelum trofi ATP pertamanya. Sebelum terobosan besar pada 2022. Setelah memenangkan Masters pertamanya di Miami, Alcaraz berkata kepada pelatihnya: “Saya siap memenangkan Grand Slam.” Lima bulan kemudian, ia mengangkat trofi US Open.
Pada 2023, saat Alcaraz menjuarai Wimbledon, Ferrero masih mampu berlatih tanding dengannya secara kompetitif selama hampir satu jam. Baru setelah mengalami cedera lutut akibat bermain padel di akhir tahun — yang memerlukan operasi — Ferrero mulai kesulitan mengikuti intensitas Alcaraz.
Ketika Kesuksesan Mengubah Keseimbangan Kekuatan
Konteks inilah yang membuat perpisahan mereka akhirnya lebih mudah dipahami, meskipun tetap terasa menyakitkan. Seiring status Alcaraz meningkat — gelar, uang, dan pengaruh global — dinamika hubungan pun ikut berubah. Apa yang bermula sebagai visi bersama perlahan berbenturan dengan realitas kekuasaan, otoritas, dan negosiasi finansial di level tertinggi olahraga.
Kemitraan yang dulu bertumpu pada kepercayaan dan keselarasan akhirnya diuji oleh tekanan yang jarang bisa dilalui tanpa perubahan.
Conclusion
Kisah Carlos Alcaraz dan Juan Carlos Ferrero bukanlah cerita kegagalan, melainkan transformasi. Bersama-sama, mereka membangun salah satu kisah sukses pemain–pelatih paling luar biasa dalam tenis modern. Perpisahan mereka tidak menghapus warisan tersebut — justru menegaskan sejauh apa proyek ini telah melangkah.
Dalam olahraga elite, bahkan ikatan terkuat pun diuji oleh ambisi, uang, dan kendali. Alcaraz kini cukup kuat untuk menentukan jalannya sendiri. Ferrero telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah tenis — baik sebagai juara, maupun sebagai sosok yang membantu menciptakan seorang juara.
Kemitraan mereka mungkin telah berakhir, tetapi dampaknya akan terasa selama puluhan tahun ke depan.
Untuk berita terbaru, analisis mendalam, dan pembaruan seputar para petenis terbaik dunia, kunjungi bagian berita tenis kami, tempat kami menyajikan liputan terkini dari ATP dan WTA Tour.


